Sabtu, 17 Desember 2011

IPKJI PROVINSI RIAU DI TANTANG MENJADI TUAN RUMAH KONAS KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA TAHUN 2014

Pada tanggal 17—19 November baru-baru ini, beberapa perawat baik dari RSJ Tampan dan dosen dari Institusi Pendidikan yang ada di Provinsi Riau yang tergabung dalam Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Provinsi Riau  menghadiri  Konfrensi Nasional Keperawatan Kesehatan Jiwa VIII yang diadakan di Bkittinggi, dimana pada Konas kali ini mengusung tema” Comprehensive Psychosocial action among mental health nursing in disaster situation”
  “Tema Keperawatan Jiwa VIII ini sangat sesuai dengan kondisi keterkinian indonesia khususnya Sumatra Barat yang merupakan salah satu derah rawan bencana terkait dengan letak geografisnya” demikian sepenggal kata sambutan yang diberikan oleh Gubernur Sumatra Barat yang hadir untuk membuka acara pada sore tanggal 17 November  tersebut. Selain Gubernur, Konas juga dihadiri oleh walikota Bukittinggi, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Kemenkes RI, Direktur Bina Pelayanan Keperawatan Kemenkes RI, Kepala Dinas Propinsi Sumatra Barat, Ketua PPNI Pusat, Ketua PB IPKJI, Direktur RS, Narasumber  serta seluruh peserta konas yang berasal dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia. 
 Jadwal Konas sangat padat, berlangsung setiap hari hingga jam 12.00 malam. Malam terkhir sebelum penutupan, seperti biasa dilakukan kegiatan kampanye untuk pemilihan tuan rumah konas ke X untuk tahun 2013. Saat itu IPKJI Riau   langsung ditantang oleh Ibu Budi Anna Keliat untuk tampil. Dengan rasa percaya diri tampillah kedepan 6 orang utusan IPKJI Riau, Ns. Enita, S.Kep; Ns. Triswan, S.Kep; Ns. Adelina, S.Kep;Bp.Erwin, SKP.M.Kes , Ns Rosdiar. Skep dan Ibu Sri Wahyuni, M. Kep, Sp.Kep.J di mana kampanye dipimpin langsung oleh beliau selaku pakar .Keperawatan jiwa di Riau.   
Suasana pada saat kampanye sangat meriah dimana pada akhirnya Riau cukup bangga dengan mendapatkan 19 suara, kalah dari Samarinda yang memang sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri untuk ditunjuk menjadi tuan rumah pada konas X tahun 2013 nanti.
Dengan  tampilnya IPKJI Riau Kampanye  Konas untuk tahun 2013 itu artinya kita juga harus sudah memikirkan kemungkinan untuk menjadi tuan rumah pada Konas tahun 2014 atau 2015.
Bagaimana teman-teman. Mari bersiap untuk kampanye lagi pada Konas IX di Nusa Tenggara Barat tahun 2012.

     


REKOMENDASI KONAS KEPERAWATAN JIWA VIII DI BUKIT TINGGI

REKOMENDASI KONAS KEPERAWATAN JIWA VIII

Pada hari ini Jumat, 18 November 2011 bertempat di Hotel The Hills  Bukititnggi, kami; peserta Konferensi Nasional Keperawatan Jiwa VIII yang berjumlah 199 orang, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan, pendidikan, dan penelitian dalam bidang keperawatan jiwa, merekomendasi hal-hal sebagai berikut:

A.    PELAYANAN KEPERAWATAN
1.      Rumah Sakit Jiwa yang belum menerapkan Model Praktek Keperawatan Profesional (MPKP) segera menerapkan selambat - lambatnya pada tahun 2015 sebagai salah satu  indikator kualitas pelayanan kesehatan rumah sakit jiwa seperti yang telah ditetapkan Kementerian Kesehatan  sebagai standar pelayanan mutu Rumah Sakit Jiwa.
2.      Rumah sakit jiwa yang sudah menerapkan MPKP diharapkan melaporkan perkembangan MPKP selambat-lambatnya pada Konas keperawatan jiwa tahun 2012.
3.      Memfasilitasi pengembangan CLMHN di rumah sakit umum mulai tahun 2012 melalui advokasi kepada stakeholder.
4.      Optimalisasi  peran keperawatan di kesehatan jiwa masyarakat  melalui peningkatan kompetensi perawat di unit pelayanan kesehatan jiwa masyarakat
5.      Mendorong  pengembangan Pelayanan Intensive Care Unit (PICU) dan poliklinik keperawatan jiwa serta perawatan HIV/AIDS di rumah sakit jiwa yang akan dievaluasi pelaksanaannya dalam waktu 2 tahun ke depan.
6.      Menyikapi kondisi bencana yang sering terjadi di Indonesia saat ini perlu dibentuk  Tim Penanggulangan Kesehatan Jiwa Bencana melalui advokasi organisasi profesi (PPNI dan IPKJI) ke Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
7.      Revitalisasi DSSJ yang ada dan mendorong pembentukan DSSJ di wilayah – wilayah yang rentan masalah kesehatan jiwa dengan mengadvokasi Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten untuk mengembangkan desa siaga sehat jiwa.
8.      IPKJI dan PPNI mendorong pemberdayaan lulusan spesialis keperawatan jiwa agar dapat berkontribusi secara optimal dalam pelayanan kesehatan jiwa kepada masyarakat baik di institusi pelayanan kesehatan dan komunitas.
  1. Pembentukan kelompok kerja dibawah koordinasi IPKJI untuk menganalisis serta mengembangkan standar asuhan dan terapi keperawatan jiwa pada tahap generalis dan spesialis.

B.     PENDIDIKAN KEPERAWATAN
1.      Perlunya kajian kurikulum  berbasis  kompetensi untuk penerapan mata kuliah keperawatan jiwa bagi dosen pada strata pendidikan D3 dan S1 keperawatan melalui advokasi organisasi profesi ke AIPNI dan AIPDIKI.
2.      Peningkatan kemampuan/kompetensi dosen dan Clinical Educator dalam kegiatan pembelajaran keperawatan melalui pelatihan – pelatihan terstandar.
3.      Penyusunan standar  kompetensi  dosen  dan CE keperawatan  jiwa  tiap strata  pendidikan melalui kerjasama organisasi profesi dan organisasi pendidikan dan pemerintah.
4.      Dibentuknya  forum komunikasi antara pendidik dan praktisi keperawatan jiwa tingkat regional dan nasional yang difasilitasi oleh IPKJI.
5.      Pengkawalan pengembangan metode pembelajaran dalam penerapan kurikulum berbasis kompetensi di level D III Keperawatan dan S-1 Keperawatan oleh organisasi profesi (PPNI dan IPKJI).

C.    PENELITIAN KEPERAWATAN
1.      Terlaksananya peningkatan kemampuan meneliti perawat jiwa di pelayanan maupun pendidikan melalui kegiatan - kegiatan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan penelitian
2.      IPKJI wilayah mensosialisasi pohon penelitian, yang terdiri dari: area asuhan keperawatan jiwa, manajemen keperawatan, terapi modalitas, dan konsep keperawatan.
3.      IPKJI wilayah mengumpulkan data dasar penelitian keperawatan jiwa, baik dalam bidang pendidikan maupun pelayanan.
4.      IPKJI wilayah memfasilitasi terbentuknya pokja penelitian di institusi pendidikan dan pelayanan  tiap-tiap provinsi.
5.      IPKJI Pusat mendorong percepatan terbentuknya jejaring melalui milis untuk menginformasikan sumber dana dan tema-tema penelitian.
6.      IPKJI Pusat memfasilitasi penyebaran hasil penelitian keperawatan jiwa untuk diaplikasikan di tiap wilayah.
7.      IPKJI Pusat mensosialisasikan contact person individu yang bertanggung jawab untuk  membantu memfasilitasi, menampung, menyebarkan hasil penelitian. Sehingga pada saat konas selanjutnya individu yang ada pada kelompok tersebut walaupun berubah tetapi mengetahui tanggung jawab pada tiap provinsi masing-masing untuk bidang penelitian.
8.      IPKJI Pusat mendorong percepatan pembentukan website, jurnal dan mempublikasikan hasil penelitian melalui jurnal, website atau media komunikasi lainnya.

 Bukittinggi,  18 November 2011
Tim Perumus Rekomendasi Konas  VIII
1.            Dr Budi Anna Keliat, SKp, MAppSc, Ketua
2.            Akemat, SKp, MKes, Sekretaris
3.            Novy Helena, CD, SKp, MSc, Anggota
4.            Widya Lolita, SKp, MKep, Anggota
5.            Indriana R, SKp, MSc, Anggota
6.            Basmanelly, MKep, Sp. Kep.J, Anggota
7.            Wahyu Kirana, MKep, Sp. Kep.J, Anggota
8.            Syarniah, M.Kep. Sp.Kep.J., Anggota
9.            Walter, M.Kep. Sp.Kep.J. Anggota
10.        Dewi Eka Putri, M.Kep. Sp.Kep.J., Anggota
11.        Drs. I Dewa Made Ruspawan, S.Kp., M.Biomed, Anggota
12.        Atih Rahayuningsih, M.Kep. Sp.Kep.J., Anggota
13.        Anang Wiyono, S.Kp, Anggota


Minggu, 16 Oktober 2011

MENGENAL UNIT PERAWATAN INTENSIF PSIKIATRI (UPIP) RS JIWA TAMPAN

Unit perawatan intensif psikiatri (UPIP)adalah suatu unit yang memberikan perawatan khusus kepada pasien-pasien psikiatri yang berada dalam kondisi membutuhkan pengawasan ketat. Di beberapa negara unit ini diterjemahkan sebagai unit kedaruratan ataupun unit akut yang pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama yaitu merawat pasien-pasien yang berada dalam kondisi membutuhkan intervensi segera. Pasien dengan kondisi ini adalah pasien-pasien dalam kondisi dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan, seperti pasien dengan usaha bunuh diri, halusinasi, perilaku kekerasan, NAPZA, dan  waham.

Di Indonesia, istilah yang digunakan  adalah intensif karena merujuk kepada tindakan yang dilakukan kepada pasien, sedangkan istilah kedaruratan lebih merujuk kepada kondisi pasien. Sehingga pada situasi darurat pasien membutuhkan intervensi segera untuk mencegah situasi yang lebih buruk.

Untuk dapat dikatakan sebagai suatu kedaruratan situasi tersebut harus memiliki kriteria berikut:
· Ancaman segera terhadap kehidupan, kesehatan, harta benda atau lingkungan
· Telah menyebabkan kehilangan kehidupan, gangguan kesehatan, kerusakan harta benda dan lingkungan
· Memiliki kecenderungan peningkatan bahaya yang tinggi dan segera terhadap kehidupan, kesehatan,  harta benda atau lingkungan

Adapun skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kedaruratan pasien adalah skala GAF (General Adaptive Function) dengan rentang skor 1 – 30 skala GAF. Kondisi pasien dikaji setiap shift dengan menggunakan skor GAF. (tambahkan penjelasan ttg aksis V, sbr Stuart n Larai, 2005).
Pada keperawatan kategori pasien dibuat dengan skor RUFA (Respons Umum Fungsi Adaptif)/ GAFR (General Adaptive Function Response)  yang merupakan modifikasi dari skor GAF karena keperawatan menggunakan pendekatan respons manusia dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan fungsi respons yang adaptif. Keperawatan meyakini bahwa kondisi manusia selalu bergerak pada rentang adaptif dan maladaptif. Ada saat individu tersebut berada pada titik yang paling adaptif , namun di saat lain individu yang sama dapat berada pada titik yang paling maladaptif. Kondisi   adaptif dan maladaptif ini dapat dilihat atau diukur dari respons yang ditampilkan. Dari respons ini kemudian dirumuskan diagnosa Skor RUFA  dibuat berdasarkan diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien. Sehingga setiap diagnosa keperawatan memiliki kriteria skor RUFA  tersendiri.

Pada UPIP tindakan-tindakan intensif  dikategorikan berdasarkan tinggi rendahnya level kedaruratan yang dialami pasien. Secara umum ada tiga fase tindakan intensif bagi pasien yaitu: fase intensif I, II, dan III

· Fase intensif I (24 jam pertama)
Prinsip tindakan
:  life saving, Mencegah cedera pada pasien, orang lain dan lingkungan
Indikasi
: Pasien dengan skor 1-10 RUFA
Intervensi
:  observasi ketat, KDM, Terapi modalitas : terapi music
· Fase intensif II (24-72 jam pertama)
Prinsip tindakan
:  observasi lanjutan dari fase krisis (intensif I),  mempertahankan pencegahan cedera pada pasien, orang lain dan lingkungan
Indikasi
: Pasien dengan skor 11-20 RUFA
Intervensi
:  observasi frekuensi dan intensitas yang lebih rendah dari fase intensif I,  terapi modalitas : terapi music dan olah raga
· Fase intensif III (72 jam-10 hari)
Prinsip tindakan
:  observasi lanjutan dari fase akut (intensif II),  memfasilitasi perawatan mandiri pasien
Indikasi
: Pasien dengan skor 21-30 RUFA
Intervensi
:  observasi dilakukan secara minimal, pasien lebih banyak melakukan aktivitas secara mandiri,  terapi modalitas : terapi music, terapi olah raga, life skill therapy.

UPIP  RS Jiwa Tampan

UPIP RS JIwa Tampan di buka pada februari 2010. Jumlah rata-rata pasien yang masuk ke ruang UPIP hingga sekarang  65 orang/ bulan. Kapasitas tempat tidur 21 TT

Ketenagaan di UPIP terdiri dari:
1 orang Dokter Spesialis Jiwa, 1 Dokter Umum, 14 0rang perawat dan tenaga Satpam yang membantu mengamankan pasien dengan kondisi amuk.

Adapun pola penanganan di UPIP menggunakan pendekatan MPKP yang terdiri dari empat pilar yaitu : 
1. Pendekatan manajemen,
2. Compensatory reward,
3. Hubungan profesional,
4. Manajemen asuhan keperawatan




Jumat, 07 Oktober 2011

MENGAPA PASIEN SKIZOFRENIA SUKA MEROKOK?

Sering kita bertanya kenapa sih...pasien dengan gangguan jiwa kok suka merokok?..., bahkan ada yang kalau tidak dapat rokok...langsung marah-marah dan melakukan perilaku kekerasan.

Pasien-pasien gangguan kesehatan jiwa merupakan salah satu populasi tertinggi berhubungan dengan ketergantungan pada nikotin. Sekitar 50 persen pasien rawat jalan di klinik psikiatri diketahui merokok sehari-harinya.
Sekitar 90 persen pasien skizofrenia juga merokok dan 70 persen pasien dengan gangguan bipolar juga merokok dalam kehidupan sehari harinya. Rokok juga erat dengan penggunaan zat adiktif lainnya. Dikatakan hampir 70 persen pengguna zat adiktif (alkohol, amfetamin, kokain dll) juga merokok.
Data mengatakan bahwa pasien dengan gangguan depresi dan gangguan cemas lebih sulit berhasil untuk berhenti merokok daripada yang tidak.

Teori Dasar
1. Teori keseimbangan dopamin (DA) dan asetilkolin (ACh). Dalam keadaan normal, terdapat keseimbangan antara neurotransmiter (NT) DA dan ACh. Bila diibaratkan timbangan maka terdapat keseimbangan antara bagian kiri dan kanan, tidak ada bagian yang satu melebihi bagian yang lain.

2. Pada gangguan skizofrenia terdapat ketidakseimbangan timbangan tersebut. Pada gangguan ini terdapat hiperaktivitas NT DA (jumlah DA yang sangat berlebihan sehingga menimbulkan gejala-gejala positif). Sedangkan kadar ACh menurun dibandingkan dengan DA.

Mengapa penderita skizofrenia merokok?
1. Teori Konvensional. Dikatakan bahwa kebiasaan menghisap rokok pada penderita skizofrenia berkaitan dengan penurunan gejala parkinsonisme yang diakibatkan oleh pengobatan dengan obat antipsikotik. Kemungkinan karena aktivasi neuron DA tergantung pada nikotin.

2. Teori Mutakhir. Dikatakan bahwa pada penderita skizofrenia terjadi penurunan reseptor nikotin. Mengapa terjadi penurunan? Hal itu disebabkan kadar ACh yang berkurang sebagai akibat relatif dari kadar DA yang berlebihan (hiperaktivitas DA-ergik). Dalam hal ini NT yang terkait adalah alpha-7 nicotinic receptor. Reseptor alfa-7 ini terdapat baik pada prasinaps maupun pascasinaps neuron glutamat. Dengan merokok berarti meningkatkan kadar nikotin, artinya
    merangsang reseptor nikotin alfa-7 untuk bertambah banyak. Neuron prasinaps diaktivasi oleh nikotin sehingga mengeluarkan dalam jumlah besar berbagai macam NT yang pada akhirnya menyebabkan perubahan gene expression. Secara klinis menimbulkan rasa kenyamanan pada penderita skizofrenia.

3. Teori Lain. Antara lain teori pada pemakaian clozapin dan teori sitokrom P-450 isoenzim IA2.






Kamis, 11 Agustus 2011

KEPANGKATAN DAN ESELON PNS

KEPANGKATAN PNS
Pernahkah anda bertanya-tanya, apa sebetulnya makna pangkat dan jenjang eselon dilingkungan pemerintah? Apakah itu sekedar penamaan atau mencerminkan suatu tanggung jawab tertentu? Apakah masih ada yang salah atau bingung menuliskan pangkatnya?
Tenaga fungsional sering salah dalam menuliskan kepangkatan, masih bingung dalam menuliskan jabatannya dengan kepangkatan. Sering pada pangkat di tuliskan jabatan fungsionalnya atau pada isian pangkat dikosongkan karena tidak tau apa yang harus dituliskan....
Dalam pengelolaan Pegawai Negri Sipil ( selanjutnya disebut PNS ), hingga saat ini dikenal adanya 17 jenjang KEPANGKATAN (bisa dilihat antara lain dalam Keputusan Kepala  Badan Kepegawaian Negara Nomor 11 Tahun 2001 tentang ketentuan pelaksanaan, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negri).
Jenjang Kepangkatan dapat dibagi menjadi:
1. Kelompok JURU
2. Kelompok PENGATUR
3. Kelompok  PENATA
4. Kelompok PEMBINA

Sering terjadi jenjang kepangkatan ini lebih banyak dipahami semata-mata sebagai panduan penggajian. Kalau si Badu sudah mencapai pangkat Penata, maka gajinya lebih besar dari si Amir yang pangkatnya baru Pengatur. Tapi, apa perbedaan kontribusi yang mesti diberikan Badu dan Amir dengan jenjang pangkat yang berbeda? Itu yang kadang belum tertangkap dengan jelas.
Oleh karena itu alangkah baiknya jika pangkat dengan penamaan seperti diatas secara tegas mencerminkan pula tuntutan peran yang berbeda dari pengembannya. Dengan begitu, masing-masing orang paham bahwa dirinya bertanggung jawab mengkontribusikan sesuatu sesuai dengan jenjang pangkatnya sehingga menjadi wajar bahwa gaji yang diterimapun menjadi berbeda.
Berikut tentang MAKNA KEPANGKATAN PNS:
1. JURU
    JURU merupakan jenjang kepangkatan untuk PNS golongan I/a hingga I/d dengan sebutan secara berjenjang:
JURU MUDA/ Ia
JURU MUDA Tk I / I b
JURU  / I c
JURU Tk I / I d
Jika dilihat dari persyaratan golongannya maka yang menempati golongan ini adalah mereka dengan pendidikan formal jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Pertama, atau yang setingkat. Dari ketentuan tersebut dapat di Asumsikan bahwa pekerjaan-pekerjaan di tingkat kepangkatan JURU baru membutuhkan  kemampuan Skolastik dasar dan belum menuntut suatu ketrampilan bidang ilmu tertentu. Dapat dikatakan bahwa JURU merupakan pelaksana pembantu (pemberi ASISTENSI) dalam bagian kegiatan yang menjadi tanggung jawab jenjang kepangkatan di atasnya( PENGATUR).

2. PENGATUR
PENGATUR merupakan jenjang kepangkatan untuk PNS Golongan II a hingga II d dengan sebutan secara berjenjang:
PENGATUR MUDA/ II a
PENGATUR MUDA TINGKAT I / II b
PENGATUR / II C
PENGATUR TINGKAT I / II d

Jika dilihat dari persyaratan golongannya maka yang menempati golongan ini
. PENATA
PENATA merupakan jenjang kepangkatan untuk PNS golongan III / a  hingga III/ d dengan sebutan secara berjenjang:
PENATA MUDA / III a
PENATA MUDA TINGKAT I / III  b
PENATA / III c
PENATA TINGKAT I / III d

Jika dilihat dari persyaratan golongannya maka yang menempati golongan ini adalah  mereka dengan pendidikan formal jenjang S 1 atau Diploma IV keatas, atau yang setingkat. Dari  ketentuan tersebut dapat diasumsikan bahwa pekerjaan ditingkat kepangkatan PENATA sudah mulai menuntu suatu keahlian bidang ilmu tertentu dengan lingkup pehaman kaidah ilmu yang  telah mendalam. Dengan pehamannya yang  komprehensif tentang sesuatu maka PENATA bukan  lagi sekedar pelaksana, melainkan sudah memiliki tanggung jawab MENJAMIN MUTU proses dan keluaran kerja tingkat PENGATUR.

4. PEMBINA
PEMBINA merupakan jenjang kepangkatan untuk PNS Golongan IV/a hingga IV/e dengan sebutan secara berjenjang:
PEMBINA/IV a
PEMBINA TINGKAT I/IV b
PEMBINA UTAMA MUDA / IV c
PEMBINA UTAMA MADYA / IV d
PEMBINA UTAMA / IV e
Sebagai jenjang tertinggi, kepangkatan ini tentunya di peroleh  sesudah melalui suatu perjalanan karir yang panjang sebagai PNS.
 
adalah mereka dengan  pendidikan formal jenjang Sekolah Lanjutan Atas hingga Diploma III, atau yang setingkat artinya bahwa pekerjaan-pekerjaan di tingkat kepangkatan PENGATUR sudah mulai menuntut suatu ketrampilan dari bidang ilmu tertentu, namun sifatnya sangat tekhnis. Demgan demikian pada tingkatan ini, PENGATUR adalah orang yang  MELAKSANAKAN langkah-langkah realisasi suatu kegiatan yang merupakan operasionalisasi dari program instansinya.     
. PENATA
PENATA merupakan jenjang kepangkatan untuk PNS golongan III / a  hingga III/ d dengan sebutan secara berjenjang:
PENATA MUDA / III a
PENATA MUDA TINGKAT I / III  b
PENATA / III c
PENATA TINGKAT I / III d

Jika dilihat dari persyaratan golongannya maka yang menempati golongan ini adalah  mereka dengan pendidikan formal jenjang S 1 atau Diploma IV keatas, atau yang setingkat. Dari  ketentuan tersebut dapat diasumsikan bahwa pekerjaan ditingkat kepangkatan PENATA sudah mulai menuntu suatu keahlian bidang ilmu tertentu dengan lingkup pehaman kaidah ilmu yang  telah mendalam. Dengan pehamannya yang  komprehensif tentang sesuatu maka PENATA bukan  lagi sekedar pelaksana, melainkan sudah memiliki tanggung jawab MENJAMIN MUTU proses dan keluaran kerja tingkat PENGATUR.

4. PEMBINA
PEMBINA merupakan jenjang kepangkatan untuk PNS Golongan IV/a hingga IV/e dengan sebutan secara berjenjang:
PEMBINA/IV a
PEMBINA TINGKAT I/IV b
PEMBINA UTAMA MUDA / IV c
PEMBINA UTAMA MADYA / IV d
PEMBINA UTAMA / IV e
Sebagai jenjang tertinggi, kepangkatan ini tentunya di peroleh  sesudah melalui suatu perjalanan karir yang panjang sebagai PNS.

 
ini berarti pekerjaan pada kelompok kepangkatan PEMBINA semestinya bukan saja menuntut suatu keahlian bidang ilmu tertentu yang mendalam, namun juga menuntut suatu kematangan dan kearifan kerja yang sudah diperoleh sepanjang masa kerjanya. Dengan demikian, PEMBINA adalah model peran bagi jenjang dibawahnya guna keperluan MEMBINA DAN MENGEMBANGKAN kekuatan sumberdaya untuk jangkauan pandang ke depan.

Bagaimana dengan ESELONISASI ?

mungkin sebagian teman-teman sudah ada yang tahu.
Hirarki Jabatan Struktural dikenal dengan istilah Eselon, yang seluruhnya terdiri dari 8 jenjang Eselon yang dapat dibagi menjadi:
Jabatan ESELON I
Jabatan ESELON II
Jabatan ESELON III
Jabatan ESELON IV
Guna memantapkan makna eselonisasi, hendaknya setiap tingkatan eselon dikaitkan juga dengan makna kepangkatan PNS. Berikut MAKNA ESELONISASI PNS, (Eselon I hingga IV), khususnya ditingkat PROVINSI:
1. ESELON I
     Eselon I merupakan hirarki jabatan structural yang tertinggi, terdiri dari 2 jenjang: ESELON I A DAN ESELON I B. Jenjang pangkat bagi Eselon I adalah terendah Golongan IV/c dan tertinggi golongan IV/e. Ini berarti secara kepangkatan, personelnya sudah berpangkat PEMBINA yang makna kepangkatannya adalah MEMBINA DAN MENGEMBANGKAN. Di tingkat Provinsi, maka Eselon I dapat dianggap sebagai pucuk pimpinan wilayah (Propinsi) yang berfungsi sebagai penanggung jawab efektifitas provinsi yang dipimpinnya. Hal itu dilakukan melalui keahliannya dalam menetapkan kebijakan-kebijakan pokok yang akan membawa provinsi mencapai sasaran-sasaran jangka pendek maupun jangka panjang.

2. ESELON II
ESELON II merupakan hirarki jabatan structural lapis kedua, terdiri dari 2 jenjang: ESELON IIA dan ESELON IIB. Jenjang pangkat bagi Eselon II adalah terendah golongan IV /c dan tertinggi golongan berpangkat PEMBINA yang makna kepangkatannya adalah MEMBINA dan MENGEMBANGKAN. Ditingkat provinsi, maka Eselon II dapat dianggap sebagai MANAJER PUNCAK SATUAN KERJA (INTANSI). Mereka mengemban tugas sebagai penanggung jawab efektifitas instansi yang dipimpinnya melalui keahliannya dalam perancangan dan Implementasi strategi guna merealisasikan implementasi kebijakan-kebijakan provinsi.

3. ESELON III
ESELON III merupakan hirarki jabatan structural lapis ketiga, terdiri dari 2 jenjang: ESELON IIIA dan ESELON IIIB. Jenjang pangkat bagi Eselon III adalah terendah golongan III/d dan tertinggi Golongan PEMBINA atau PENATA yang sudah mumpuni (Penata Tingkat I) sehingga tanggung jawabnya adalah MEMBINA dan MENGEMBANGKAN. Ditingkat provinsi, Eselon III dapat dianggap sebagai MANAJER MADYA SATUAN KERJA (INTANSI) yang berfungsi sebagai penanggung jawab penyusunan dan realisasi program-program yang diturunkan dari strategi instansi yang ditetapkan oleh Eselon II.

4.ESELON IV merupakan hirarki jabatan struktural lapis keempat, terdiri dari 2 jenjang: Eselon IVA dan Eselon IVB. Jenjang pangkat bagi eselon IV adalah terendah Golongan III/b dan tertinggi Golongan III/d. Ini berarti secara kepangkatan, personelnya berpangkat PENATA yang sudah cukup berpengalaman. Makna kepangkatannya adalah menjamin mutu. Oleh karenanya di tingkat provinsi, Eselon IV dapat dianggap sebagai sebagai MANAJER LINI SATUAN KERJA (INSTANSI) yang berfungsi sebagai penanggung jawab kegiatan yang dioperasionalisasikan dari program yang disusun di tingkatan Eselon III.